Fenomena Entropi dan Anti-Entropi dalam Fashion Masa Kini: Sebuah Metafora

Oleh: Christabel Annora P.P., S.T., M.Sc. Dosen Desain Fashion dan Produk Lifestyle

https://www.christabelannora.space/

Apa itu Entropi?

Entropi merupakan sebuah prinsip Fisika yang dicetuskan pertama kali oleh Carnot (1824) ketika Carnot mencoba untuk mengoptimasi sebuah mesin panas, dan kemudian dilengkapi oleh Clausius pada tahun 1850 (Saslow,2020). Prinsip peningkatan entropi dalam Fisika ini mengacu pada hukum Termodinamika yang menyatakan bahwa semua proses yang alami dan seimbang akan selalu bergerak ke arah yang lebih kacau. Meskipun prinsip entropi ini adalah sebuah deskripsi dari sebuah proses fisik, secara tidak langsung prinsip ini juga dapat diasosiasikan pada manusia. Entropi dapat dipahami sebagai sebuah tendensi menuju kekacauan dan ketidakberaturan. Pada tulisan ini, entropi akan dikaitkan dengan fashion dan hubungannya dengan teknologi.

Prinsip fisika ini secara metaforis digunakan untuk menganalisis dan mengkritik praktik-praktik masyarakat dan industri dalam dunia fashion.Sehingga, meskipun kedua ranah (fisika dan fashion) tidak langsung terkait, konsep entropi digunakan sebagai lensa melalui mana dampak fast fashion diperiksa dan dipahami.

Teknologi dan fashion memiliki sebuah hubungan yang tak terpisahkan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat membuat industri fashion bertumbuh secara masif dan terus berinovasi, baik dalam jenis produk, material, baik dalam proses produksi. Sebelum era Revolusi Industri, sebelum abad 18, fashion memiliki laju yang cukup lambat (Mohajan, 2019). Hal ini disebabkan para produsen pakaian era itu membuat produknya di rumah mereka dan rumah produksi yang tidak besar. Proses pembuatan pakaian memakan waktu yang cukup lama karena bahan (kain) tidak diproduksi sebesar sekarang, juga proses potong dan jahit yang dilakukan secara manual. Karena itulah, pakaian pada masa itu tidak banyak diproduksi dan dapat digunakan dalam waktu yang lama. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan fashion pada masa kini. Era dressmaker sudah dianggap kuno, dan karena cepatnya perputaran fashion, fast fashion pun terbentuk. Fast fashion yang kian marak ini memiliki dampak – dampak negatifnya, baik dari sisi lingkungan ataupun sosial. Dari sisi lingkungan, dampak fast fashion dapat langsung terlihat pada polusi yang dihasilkan – bagaimana industri fashion mencemari sungai untuk pewarnaan sintetis kain, ataupun penggunaan kain-kain berbahan dasar polyester yang tidak dapat terurai. Dari aspek sosial, marak kasus pabrik-pabrik garmen yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur, juga bagaimana upah para pekerja yang tidak sesuai standar untuk memenuhi keuntungan perusahan. Dengan peristiwa – peristiwa ini, fashion di era digital yang serba cepat akan meningkatkan entropi yang akan membawa kepada kekacauan. Tulisan ini membahas bagaimana fashion di era digital membawa kehidupan manusia pada entropi dan sebagai anti – entropinya, inovasi – inovasi dalam bidang fashion juga kian bertambah.

Dampak Fashion Masa Kini pada Entropi Manusia dan Lingkungan

Fashion masa kini sering dikaitkan dengan fast fashion yang merupakan sebutan dari koleksi pakaian yang berkiblat pada trend fashion dari desainer ternama, dengan harga yang lebih murah. Dalam lanskap sosial, fast fashion diproduksi secara cepat dan menghasilkan banyak keuntungan dengan ‘memeras’ proses produksinya, yang dalam hal ini mencakup para pekerja garmen, waktu, bahkan sumber daya material. Namun, brand fast fashion tidak akan berhasil tanpa konsumen. Fast fashion juga melakukan banyak manipulasi lewat proses pemasaran yang persuasive sehingga calon konsumen membeli tanpa henti. Sehingga, akselerasi yang terjadi di sini tidak hanya pada proses produksinya, namun juga proses jual beli, dan proses pembuangan pakaian. Tidak mengherankan jika akhirnya masyarakat menjadi sangat konsumtif dalam hal membeli pakaian. Ketika merasa bosan dengan pakaian tertentu, mereka akan membuang pakaian tersebut dan membeli lagi yang baru.

Dalam konteks manusia, pabrik fashion menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda dengan mengeksploitasi manusia. Salah satu contohnya adalah peristiwa Rana Plaza, yang terjadi pada tahun 2013 dan menewaskan lebih dari 1000 orang. Bangunan Rana Plaza, yang merupakan bangunan tempat pabrik-pabrik garmen berada, ambruk dengan kondisi pekerja – pekerja masih berada di dalamnya. Hal yang memicu kemarahan public adalah para pekerja pabrik dipaksa untuk tetap bekerja di dalam gedung meskipun satu hari sebelumnya sudah ditemukan retakan di gedung tersebut. Peristiwa ini merupakan peningkatan entropi khususnya di bidang fashion dalam dampaknya pada manusia, karena dari peristiwa ini terbukti bahwa kapitalisme mengubur kemanusiaan dalam – dalam.

Dalam hubungannya dengan lingkungan, peningkatan entropi dapat tercermin dari kerusakan alam yang semakin buruk. Hal ini dapat dilihat dari data dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menyebut industri fashion sebagai industri kedua yang paling berpolusi, menghasilkan 8% dari emisi karbon dan 20% air limbah (Bailey, K., Basu, A., & Sharma, S. ,2022). Terkait material pakaian yang paling mendasar, yaitu kapas (cotton), dalam penanaman dan pengolahannya untuk menjadi tekstil membutuhkan air yang sangat banyak, dan konsumsinya mencapai 3% air tawar dunia dan 10% pestisida. Material pakaian lainnya yang berupa plastik (polyester) pun tak jauh berbeda dampak buruknya. Penggunaan kain berbahan dasar polyester menghasilkan microplastic yang mencemari air dan pada akhirnya akan memasuki makhluk hidup bersama dengan air, udara, makanan, dan minuman (Dalla Fontana, G., Mossotti, R., & Montarsolo, A., 2020). Kondisi ini akan menjadi ancaman makhluk hidup pula. Dalam konteks ini, entropi manusia dan lingkungan pun menjadi satu.

Menurut Yi-Fang Chang (2020), reduksi entropi, atau disebut juga pengurangan entropi atau anti-entropi dapat dilakukan dengan mentransfer sebuah sistem ke sistem yang lain. Namun, manusia tidak dapat sepenuhnya mengurangi entropi dan semua sistem yang berinteraksi, karena tidak ada cara untuk menghancurkan entropi secara lokal, entropi akan selalu meningkat dan terjadi. Demikian pula dalam dunia fashion, entropi yang dihasilkan oleh industri fashion dapat direduksi, meskipun tidak sepenuhnya.

Berbagai macam riset sudah dilakukan oleh para peneliti, aktivis lingkungan, dan bekerja sama dengan para experts di bidang fashion untuk memperlambat terjadinya entropi. Ada beberapa contoh, di antaranya adalah re-adaptasi dari slow fashion, penggunaan material yang lebih sustainable, ataupun cara-cara lain seperti mengadaptasi teknologi digital itu sendiri untuk menanggulangi dampak – dampak negatif dari industri fashion. Dalam artikel ini, akan dibahas dua hal yang merupakan usaha – usaha untuk memperlambat entropi dalam fashion sendiri, yakni adanya adaptasi digital fashion dan upcycling.

Fashion Virtual (Digital Fashion)

Salah satu bentuk inovasi dalam dunia fashion untuk mereduksi entropi lingkungan dan manusia sebagai dampak dari industri fast fashion adalah timbulnya digital fashion, yang biasa disebut dengan virtual fashion. Inovasi ini adalah bentuk digital dari sebuah produk fashion (pakaian, sepatu, dan produk fashion lainnya) yang dibuat menggunakan 3D modelling software (Choi, 2022). Pakaian virtual ini sudah diakui sangat mirip dengan pakaian sebenernya dan memfasilitasi ekspresi kreatif desainer (Wu et al., 2013).

Dalam mereduksi entropi lingkungan dan manusia, digital fashion berperan penting, terutama terkait bagian proses produksi dan jenis produk. Penulis meneliti sebuah brand sebagai studi kasus dalam sub permasalahan ini, yakni The Fabricant, sebuah brand fashion digital yang memimpin industri fashion menuju sektor fashion digital.

The Fabricant

Sebagai brand yang bergerak dalam digital fashion, The Fabricant menganggap bahwa pakaian virtual merupakan sebuah solusi dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kapitalisme dan sikap konsumtif para konsumen produk fashion. The Fabricant beranggapan bahwa setiap manusia dapat menjadi apapun yang diinginkan, tanpa harus merusak hal-hal di sekitarnya. The Fabricant membuat pakaian virtual dan mereka menjualnya di platform digital. Sistem penjualannya adalah menggunakan blockchain, sehingga pada masing-masing pakaian terdapat tanda kepemilikan. Pakaian dari The Fabricant dapat digunakan oleh avatar ataupun dipasangkan dalam foto ataupun video, sehingga, konsumen tidak akan mendapatkan produk fisik dari pakaian yang mereka beli, namun dapat menggunakannya secara virtual, mengunggahnya ke dalam akun sosial media, dan memiliki dokumentasi mereka menggunakan pakaian tersebut dalam rupa foto dan video.

Gambar 1. Iridescence – Koleksi The Fabricant

Gambar 1 merupakan salah satu pakaian yang berhasil terjual seharga 9500 USD dari The Fabricant. Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa desain dari The Fabricant cukup kompleks dan eksklusif. Dari hal ini dapat dilihat bahwa digital fashion memberikan peluang untuk desainer – desainer mewujudkan imajinasi – imajinasi desain yang mungkin tidak dapat diraih oleh pakaian fisik. Amber Jay Slooten, founder dari The Fabricant, mengemukakan dalam wawancaranya yang dimuat di thepowerhouse.group mengemukakan bahwa koleksi digital ini dapat disebut sebagai ‘thought couture’, karena apa yang dirancang merupakan hal – hal di luar fisik. Thought couture, menurut Slooten, adalah sebuah ide yang memberi peluang semua orang untuk berekspresi melalui fashion, dan ekspresi tersebut tidak harus berdampak buruk untuk lingkungan (Pinent,2021). Dalam upayanya untuk mengurangi jumlah garmen di dunia, The Fabricant memberikan paradigma user-generated fashion sehingga konsep keberlanjutan fashion dengan digital fashion menjadi sebuah konsep yang menarik juga untuk diadaptasi konsumen. Melalui digital fashion, konsumen dapat mengekspresikan diri mereka menurut representasi yang mereka inginkan, baik secara ideal self, ought self, ataupun actual self (Higgins, 1987).  Digital fashion di sini dapat dilihat sebagai potensi dari kemunculan baru (new emergence) jika inovasi ini dapat secara inklusif diadaptasi pada tingkat sosio – kultural.  Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bambang Sugiharto (2010) pada tulisannya yang berjudul Pergeseran Paradigma: Pada Sains, Filsafat, dan Agama Saat Ini, yaitu revolusi digital yang sekarang terjadi membuat manusia lebih hidup dan dapat berkomunikasi dengan sesamanya pada tingkat “virtual”, tidak terbatas pada ruang fisik saja.

Selain menjual produk digital, The Fabricant juga bekerja sama dengan brand fashion yang menjual produk fisik untuk meningkatkan efektifitas dengan sampel digital, yaitu Peak performance. Peak Performance adalah sebuah brand pakaian olahraga ski yang berpusat di Are, Swedia. Bersama dengan The Fabricant, Peak Performance menggantikan sampel (prototype) fisik dengan sampel digital guna mengurangi pemborosan yang tidak perlu, menghemat bahan mentah, dan memberikan kemudahan dalam pengambilan keputusan internal tim terkait desain dan bahan. Diperkirakan terjadi pengurangan sebanyak 96% emisi karbon hasil dari perubahan sampel fisik menjadi sampel digital ini.

Gambar 2. Pengurangan Emisi Peak Performance (Peak Performance Sustainability Report, 2019)

Gambar 2 merupakan gambar yang menunjukkan emisi karbon yang berkurang dari proses perubahan Physical Shirt menjadi Digital Shirt, didukung dengan gambar 2 (bawah) yang merupakan tangkapan layar dari website Peak Performance. Dalam tangkapan layar websitenya, Peak Performance menyatakan bahwa bumi tidak dapat mengimbangi konsumsi, pemborosan, polusi, konflik, dan ketidakadilan sosial, sehingga brand harus berkontribusi lewat aksi nyata untuk ikut menanggulangi hal-hal tersebut.

Dari pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa digital fashion mendukung reduksi entropi dengan cara memperlambat proses kekacauan. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Addiscot (1995), dalam tulisannya yang berjudul Entropy and Sustainability, bahwa produksi minimum entropi haruslah menjadi kriterita dari keberlanjutan atau sustainability. Meskipun Addiscot menyatakan ini dalam konteks agrikultur, namun hal ini dapat diaplikasikan dalam industri fashion pula.

Upcycling sebagai Praktik Slow Fashion

Upcycling merupakan sebuah proses di mana bahan bekas yang sudah digunakan (dapat berupa pakaian dan produk lainnya) diubah menjadi sesuatu yang lebih bernilai dan berkualitas (Sung, 2015; Aus et al., 2021). Sebagai praktik dari slow fashion, upcycling menggeser kuantitas menjadi kualitas, dan menyeimbangkan desain dan daya tahan pakai untuk jangka panjang. Konsep slow fashion di era masa kini pertama kali dicetuskan oleh Fletcher (2010), yang pada awalnya merupakan sebuah argument melawan standar dan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan praktik upcycling, sebuah produk yang sudah usang dapat diperbarui kembali, sehingga sampah pakaian dan kain akan berkurang (Parung, 2019).  Ide slow fashion dewasa ini tentunya merupakan sebuah kontras jika dibandingkan dengan fenomena fast-fashion yang berkembang beberapa decade terakhir.

Gambar 3. Contoh aplikasi upcycling dalam fashion (Upcycle Karya Viviany, Dosen FIK UBAYA)

Gambar 3 merupakan salah satu contoh aplikasi teknik upcycling dalam bidang fashion, di mana dua garmen bekas direkonstruksikan sedemikian rupa untuk menjadi pakaian yang baru dengan nilai lebih / added value. Melalui teknik ini, dua pakain yang sebelumnya sudah usang dah terlihat tidak dapat digunakan kembali, nilainya bertambah dengan sebuah proses detach dan attach.

Dengan maraknya penelitian terkait upcycling dan praktik slow fashion lainnya dewasa ini, visi baru untuk fashion sudah mulai terbuka. Hampir semua penelitian didasarkan pada kritik terhadap fenomena industri fashion yang sangat tidak sustainable, dan mencoba mengatasi ke-tidakberlanjutan tersebut dari berbagai sisi, yaitu sisi produksi, distribusi, bahkan proses daur ulang produk.

Hasil dari penelitian – penelitian ini sangat bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis, sehingga dapat mendukung proses reduksi entropi (anti entropi / anti kekacauan) pada lingkungan dan manusia. Namun, dari banyaknya penelitian – penelitian ini, maka tercerminlah sebuah masalah yang sebenarnya merupakan masalah mendasar, yaitu kita menerima dominasi fast-fashion dan hanya berusaha membatasinya dengan melakukan pergerakan revolusioner dalam bentuk cara – cara yang dapat diterima masyarakat. Untuk mengubah hal ini menjadi sebuah new emergence atau ‘kemunculan’ baru dan membentuk sebuah negentropi, diperlukan sebuah sistem slow fashion yang sifatnya merdeka, dan tidak menjadi bagian dari fashion saat ini (fast fashion).

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa digital fashion dan slow fashion yang sifatnya beretika dan berkelanjutan ini masih merupakan bagian dari fenomena fast fashion masa kini yang semakin lama merujuk kepada kompleksitasnya. Meskipun begitu, upaya – upaya untuk mereduksi entropi dengan inovasi – inovasi tentunya akan membuahkan hasil. Upaya – upaya ini akan menghasilkan kesadaran – kesadaran yang pada titik tertentu akan membangun sebuah sistem baru yang mematahkan paradigma – paradigma kapitalistik dalam fast fashion.

Pada akhirnya, kita sebagai manusia harus tetap waspada terhadap entropi yang terus meningkat, sehingga pada titik tertentu, kita dapat menjadi agent of change yang membawa fashion pada entropi negatif (negentropi) yang akan menghasilkan keteraturan. Dari tulisan ini, diharapkan muncul penelitian – penelitian yang akan mengubah fashion menjadi sebuah sistem baru yang dapat menjadi entropi negatif bumi dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.  Dengan menjadi sebuah kebaruan yang merdeka, dapat dihasilkan sebuah sistem yang autopoietic (Maturana,1980) yang dapat menciptakan, mereproduksi, dan memperbaiki komponen dan organisasinya sendiri.

Hal untuk dipikirkan :

Ini adalah sebuah jaket dengan motif print “upcycled work”. Apakah “upcycling” sudah mulai menjadi sebuah visual style yang diadaptasi untuk fast fashion, menghilangkan nilai – nilai praktik dan kepentingannya?

Referensi

Addiscott, T.M. (1995), Entropy and sustainability. European Journal of Soil Science, 46: 161-           168. https://doi.org/10.1111/j.1365-2389.1995.tb01823.x

Aus, R., Moora, H., Vihma, M., Unt, R., Kiisa, M., & Kapur, S. (2021). Designing for circular fashion: Integrating upcycling into conventional garment manufacturing processes. Fashion and Textiles, 8(1). https://doi.org/10.1186/s40691-021-00262-9

 

Bailey, K., Basu, A., & Sharma, S. (2022). The environmental impacts of fast fashion on water quality: A systematic review. Water, 14(7), 1073. https://doi.org/10.3390/w14071073

Chang, Y.F. (2020). Development of entropy change in philosophy of Science. Philosophy Study, 10(9). https://doi.org/10.17265/2159-5313/2020.09.001

 

Choi, K.-H. (2022). 3D Dynamic Fashion Design Development using digital technology and its potential in online platforms. Fashion and Textiles, 9(1). https://doi.org/10.1186/s40691-021-00286-1

 

Dalla Fontana, G., Mossotti, R., & Montarsolo, A. (2020). Assessment of microplastics release from polyester fabrics: The impact of different washing conditions. Environmental Pollution, 264, 113960. https://doi.org/10.1016/j.envpol.2020.113960

Higgins, E. T. (1987). Self-discrepancy: A theory relating self and affect. Psychological Review, 94(3), 319–340. doi:10.1037/0033-295X.94.3.319

Malye, T. K. (2020, January 10). Entropi Dan Manusia. Bahasan.ID. Retrieved December 17, 2022, from https://bahasan.id/entropi-dan-manusia/

Maturana, H. (1980). Autopoiesis: reproducción, herencia y evolución. In Z. M. (ed.) (Ed.), AAAS Selected Symposium 55 M. (ed.) Autopoiesis, dissipative structures and spontaneous social orders, AAAS Selected Symposium 55 (AAAS National Annual Meeting, Houston TX, 3–8 January 1979). (pp. 45-79). Boulder CO: Westview Press.

Mohajan, H.  (2019): The First Industrial Revolution: Creation of a New Global Human Era. Journal of Social Sciences and Humanities, Vol. 5, No. 4 (17 October 2019): pp. 377-387.

Parung, C. A. (2019). How do the Indonesian ecologically conscious Millennials Value Upcycled Clothing? IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 703(1), 012031. https://doi.org/10.1088/1757-899x/703/1/012031

 

Pinent, P. by L. S. (2021, April 10). The future of self-expression: What is digital fashion? by Amber Jae Slooten of the Fabricant. ThePowerHouse. Retrieved December 18, 2022, from https://thepowerhouse.group/digitalfashion-amber-jae-slooten-the-fabricant/

Saslow, W. M. (2020). A History of Thermodynamics: The Missing Manual. Entropy22(1), 77.         MDPI AG. Retrieved from http://dx.doi.org/10.3390/e22010077

Sugiharto, B. (2010). Pergeseran Paradigma: Pada Sains, Filsafat, dan Agama Saat Ini. Melintas, Vol. 26, No. 3. https://doi.org/10.26593/mel.v26i3.904.317-332

Sung, K. (2015). A review on upcycling: current body of literature, knowledge gaps and a way forward. World Academy of Science, Engineering and Technology, International Journal of Environmental and Ecological Engineering, 2.

Wu, S., Kang, Y., Ko, Y.-A., Kim, A., Kim, N., Kim, C., & Ko, H.-S. (2013). A study on 3D virtual clothing by utilizing Digital Fashion Show. Journal of Korea Multimedia Society, 16(4), 529–537. https://doi.org/10.9717/kmms.2013.16.4.529