artikel dosen Archives - Fakultas Industri Kreatif https://industrikreatif.ubaya.ac.id/category/artikel-dosen/ Fakultas Industri Kreatif Universitas Surabaya, Kampus Industri Kreatif Pertama di Indonesia Timur Thu, 14 Nov 2024 02:00:20 +0000 en-US hourly 1 https://industrikreatif.ubaya.ac.id/storage/sites/38/2022/08/cropped-FIK-150x150.png artikel dosen Archives - Fakultas Industri Kreatif https://industrikreatif.ubaya.ac.id/category/artikel-dosen/ 32 32 Makna Visual Bobby Kertanegara https://industrikreatif.ubaya.ac.id/2024/11/makna-visual-bobby-kertanegara/ Thu, 14 Nov 2024 02:00:20 +0000 https://industrikreatif.ubaya.ac.id/?p=2459 Makna Visual Bobby Kertanegara dalam Konteks Kepresidenan Penulis: Dr. Guguh Sujatmiko, Dosen Desain dan Manajemen Produk, Fakultas Industri Kreatif, Universitas Surabaya S1: Desain Komunikasi Visual, ITS Surabaya (Character Design-Story Book) S2: Magister Desain, ITB bandung (Character Design-Game Design Analysis) S3: Doktor Seni (Character Design-Game Interaction)   Seekor kucing kampung yang tampak sederhana dan seorang presiden […]

The post Makna Visual Bobby Kertanegara appeared first on Fakultas Industri Kreatif.

]]>
Makna Visual Bobby Kertanegara dalam Konteks Kepresidenan

Penulis: Dr. Guguh Sujatmiko, Dosen Desain dan Manajemen Produk, Fakultas Industri Kreatif, Universitas Surabaya

S1: Desain Komunikasi Visual, ITS Surabaya (Character Design-Story Book)

S2: Magister Desain, ITB bandung (Character Design-Game Design Analysis)

S3: Doktor Seni (Character Design-Game Interaction)

 

Kenalan dengan ”First Cat” Indonesia, Bobby Kertanegara Diminta Jadi Presiden Kucing - Jawa Pos

Seekor kucing kampung yang tampak sederhana dan seorang presiden sebuah negara, terdapat paradoks pemaknaan visual yang menarik dalam hubungannya. Antara manusia dan hewan peliharaan, antara seorang presiden dan seekor kucing kampung. Bobby Kertanegara, kucing peliharaan Presiden Prabowo Subianto, adalah simbol visual yang mampu menunjukkan hubungan antara keterbatasan dan kekuasaan, antara kehidupan yang sederhana dengan kedudukan tinggi seorang kepala negara.

Kucing kampung sering kali dikaitkan dengan keterbatasan, kesederhanaan, kekurangan, dan keberadaannya cukup akrab di lingkungan sekitar masyarakat Indonesia (Iskandar,2020). Kucing kampung hidup berdampingan dengan manusia, tanpa perawatan khusus atau perbedaan status. Namun, ketika kucing kampung seperti Bobby Kertanegara menjadi bagian dari kehidupan seorang presiden, ia tak lagi hanya sekadar kucing kampung biasa; Bobby menjadi representasi dari kedekatan seorang pemimpin dengan kesederhanaan.

Roland Barthes memberikan kontribusi besar dalam memahami bagaimana tanda-tanda (sign) bekerja dalam menyampaikan makna. Teori denotasi dan konotasi menjadi salah satu konsep dalam analisis semiotika. Denotasi mengacu pada makna langsung atau literal dari sebuah tanda yang disepakati secara umum oleh masyarakat. Konotasi, di sisi lain merujuk pada makna tambahan yang muncul dari pengalaman, budaya, dan asosiasi pribadi seseorang yang bersifat subjektif dan dapat bervariasi antar individu maupun kelompok. (Sujatmiko, 2020)

Merujuk perspektif semiotika Roland Barthes, Bobby sebagai “tanda” memiliki makna denotatif sebagai seekor kucing kampung. Namun, secara konotatif, kehadirannya bersama seorang pemimpin negara menyiratkan makna yang lebih dalam. Ia menegaskan bahwa nilai-nilai sederhana tetap memiliki tempat di lingkungan paling elit sekalipun. Ia juga menyiratkan bahwa seorang presiden juga tidak jauh dari kehidupan yang sangat sederhana, keduanya menciptakan paradoks antara kemewahan istana dan kesederhanaan kucing kampung.

Hubungan manusia dengan kucing, terutama dalam budaya masyarakat Indonesia, menunjukkan makna persahabatan, kedekatan, dan kelembutan (Raharja, 2023). Kucing kampung sering dianggap hewan yang mandiri, namun dalam kedekatan dengan pemiliknya, kucing juga menciptakan ikatan emosional yang kuat (Erliza, 2022). Seorang presiden sering kali diasosiasikan dengan ketegasan dan kedisiplinan, menjalin hubungan dengan kucing, muncul simbolisme lain: Bobby menjadi cerminan sisi lembut dan humanis dari seorang tokoh yang biasanya terlihat dalam konteks formal dan profesional.

Menurut Barthes, setiap tanda memiliki mitos tertentu (Barthes, 2012). Dalam kasus ini, Bobby adalah tanda dari mitos kemanusiaan. Masyarakat melihat sisi Presiden Prabowo yang hangat melalui Bobby hal ini tevisualisasi karena interaksinya bersama Bobby menandai nilai tersebut tanpa perlu dikatakan. Di sini, Bobby menjadi “jembatan” simbolik yang menunjukkan paradoks antara ketegasan seorang pemimpin dan kasih sayang yang manusiawi yang ia tunjukkan pada makhluk lain.

Istilah “kampung” bagi banyak orang Indonesia memiliki makna rumah tinggal yang penuh kebersamaan, kehangatan, dan akar budaya yang kuat. Kehadiran Bobby, seekor kucing kampung, di lingkungan seorang presiden yang bergengsi juga menggambarkan bahwa nilai-nilai kesederhanaan, yang berasal dari akar kehidupan masyarakat biasa, tetap diakui dan dihargai di tempat tertinggi sekalipun. Paradoks ini menarik perhatian karena kehadiran Bobby membawa budaya kampung ke lingkungan formal yang biasanya dianggap lebih jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat luas.

Bobby Kertanegara menciptakan serangkaian makna visual dan simbolik karakter yang menyatukan berbagai lapisan paradoks: ia adalah kucing kampung dan bagian dari kehidupan seorang presiden; ia adalah makhluk sederhana yang memperlihatkan kehangatan seorang pemimpin; ia adalah seekor hewan yang memiliki keterbatasan ditengah ketiadabatasan. Dalam kajian semiotika Barthes, setiap unsur visual ini membentuk tanda yang membawa pesan kepada masyarakat bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan kesederhanaan tetap memiliki tempat dalam kehidupan tertinggi. Bobby adalah pengingat bahwa kesederhanaan adalah bagian penting dalam kehidupan.

Referensi:
Barthes, R. (2012). Mythologies. Hill and Wang. (Original work published 1957)
Iskandar, A. A. (2020). DIAGNOSA PENYAKIT PARASIT PADA KUCING MENGGUNAKAN METODE CERTAINTY FACTOR ( STUDI KASUS : PUSKEWAN CIBADAK KABUPATEN SUKABUMI). 4(2), 126–134.
Raharja, V., & Hadiwono, A. (2023). PENERAPAN KONSEP DESAIN SIMBIOSIS EMPATI-MUTUALISTIK TERHADAP HUBUNGAN ANTARA MANUSIA DAN KUCING DALAM ARSITEKTUR. Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur, 5(2), 901–916. https://doi.org/10.24912/stupa.v5i2.24242
Sujatmiko, G. (2020). Kajian Semiotika Pernikahan Karakter Virtual Hatsune Miku dan Akihiko Kondo. KELUWIH: Jurnal Sains Dan Teknologi, 1(1), 49. https://doi.org/10.24123/saintek.v1i1.2787
Yenni Erliza, & Ayuning Atmasari. (2022). PENGARUH PET ATTACHMENT TERHADAP HAPPINESS PADA PEMILIK HEWAN PELIHARAAN DI KECAMATAN SUMBAWA. Deleted Journal, 5(1), 54–62. https://doi.org/10.36761/jp.v5i1.1597

The post Makna Visual Bobby Kertanegara appeared first on Fakultas Industri Kreatif.

]]>
Mengubah Elemen Desain Sederhana Menjadi Karya Fashion yang Menjual: Panduan untuk Desainer Pemula https://industrikreatif.ubaya.ac.id/2024/11/mengubah-elemen-desain-sederhana-menjadi-karya-fashion-yang-menjual-panduan-untuk-desainer-pemula/ Fri, 08 Nov 2024 07:53:30 +0000 https://industrikreatif.ubaya.ac.id/?p=2456 Di balik keindahan setiap karya desain fashion, terdapat prinsip-prinsip desain yang bekerja secara harmonis. Elemen-elemen dasar seperti titik, garis, bentuk, tekstur, dan warna, jika dipadukan dengan tepat, dapat menciptakan keajaiban. Bayangkan sebuah gaun hitam sederhana yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian karena potongan garis leher yang unik atau detail lipatan yang rumit. Setiap elemen desain, sekecil […]

The post Mengubah Elemen Desain Sederhana Menjadi Karya Fashion yang Menjual: Panduan untuk Desainer Pemula appeared first on Fakultas Industri Kreatif.

]]>
Di balik keindahan setiap karya desain fashion, terdapat prinsip-prinsip desain yang bekerja secara harmonis. Elemen-elemen dasar seperti titik, garis, bentuk, tekstur, dan warna, jika dipadukan dengan tepat, dapat menciptakan keajaiban. Bayangkan sebuah gaun hitam sederhana yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian karena potongan garis leher yang unik atau detail lipatan yang rumit. Setiap elemen desain, sekecil apapun, memiliki peran penting dalam membentuk keseluruhan tampilan dan menyampaikan pesan tertentu.

Elemen Desain Titik: Fondasi Kreativitas

Titik, sekilas terlihat sederhana, namun memiliki kekuatan yang luar biasa dalam dunia desain. Bayangkan sebuah kanvas kosong. Titik pertama yang Anda buat adalah awal dari sebuah karya. Ketika disusun dengan cermat, titik-titik dapat menciptakan pola yang rumit, tekstur yang kaya, dan simbolisme yang mendalam. Pola polkadot yang klasik, misalnya, dapat mewujudkan kesan keceriaan dan kelucuan. Namun, dengan mengatur ukuran, jarak, dan warna titik-titik, kita dapat menciptakan pola polkadot yang modern dan edgy, bahkan futuristik.

aplikasi elemen desain titik pada produk desain fashion

elemen desain titik pada produk fashion

Elemen Desain Garis: Pembentuk Siluet dan Gaya

Garis adalah elemen yang menghubungkan dua titik dan memiliki peran penting dalam membentuk siluet serta menyampaikan pesan. Garis lurus vertikal memberikan kesan tinggi dan ramping, sering digunakan dalam desain pakaian formal untuk menciptakan siluet yang elegan. Sedangkan garis horizontal memberikan kesan lebar, cocok untuk desain pakaian santai atau bohemian. Garis diagonal menciptakan kesan dinamis dan gerakan, sering ditemukan pada pakaian olahraga atau desain yang ingin menyampaikan semangat muda. Coco Chanel, desainer legendaris, terkenal dengan penggunaan garis lurus yang tegas pada desainnya, menciptakan siluet yang ikonik dan timeless. Garis-garis lurus ini memberikan kesan kuat, mandiri, dan elegan yang menjadi ciri khas gaya Chanel.

aplikasi elemen desain garis pada produk desain fashion

Elemen Desain Bidang: Membentuk Volume dan Dimensi

Bidang adalah area dua dimensi yang dibatasi oleh garis. Bidang dapat berupa bentuk geometris yang jelas (seperti persegi, lingkaran, segitiga), atau bentuk organik yang lebih bebas. Dalam desain fashion, bidang berperan penting dalam membentuk siluet, menciptakan volume, dan memberikan kesan visual tertentu. Misalnya, rok A-line dengan bidang segitiga yang lebar di bagian bawah dapat menyamarkan bentuk tubuh bagian bawah dan memberikan kesan yang lebih ramping. Perhatikan bagaimana desainer menggunakan bidang untuk menciptakan ilusi optik. Misalnya, dengan bermain dengan ukuran dan proporsi bidang, kita dapat membuat bagian tubuh tertentu terlihat lebih besar atau lebih kecil.

Simple Backless A-line Dress

Elemen Desain Tekstur: Menambah Dimensi Sentuhan

Tekstur adalah kualitas permukaan suatu bahan yang dapat dirasakan atau dilihat. Tekstur dapat memberikan sensasi sentuhan yang unik dan menciptakan kesan visual yang menarik. Bahan velvet yang lembut, denim yang kasar, atau kulit yang eksotis, semuanya memiliki tekstur yang khas dan dapat memberikan kesan yang berbeda-beda. Tekstur tidak hanya mempengaruhi penampilan visual, tetapi juga memberikan pengalaman sensorik yang unik bagi pemakainya. Misalnya, bahan katun yang lembut dan sejuk akan memberikan kenyamanan yang berbeda dibandingkan dengan bahan wol yang tebal dan hangat.

Different Types of Wool Fabric: The Ultimate Guide

Elemen Desain Warna: Bahasa Visual yang Kuat

Warna adalah elemen yang sangat kuat dalam desain fashion. Setiap warna memiliki makna dan emosi yang berbeda, dan dapat mempengaruhi persepsi kita terhadap suatu desain. Merah sering dikaitkan dengan gairah dan energi, biru dengan ketenangan dan kepercayaan diri, dan kuning dengan keceriaan dan optimisme. Kombinasi warna yang tepat dapat menciptakan harmoni atau kontras yang menarik. Misalnya, kombinasi warna hitam dan putih memberikan kesan klasik dan elegan, sedangkan kombinasi warna pastel menciptakan tampilan yang lembut dan feminin. Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana warna dapat memengaruhi mood Anda? Memakai pakaian berwarna cerah cenderung membuat kita merasa lebih bersemangat, sedangkan pakaian berwarna gelap dapat membuat kita merasa lebih tenang dan serius.

Color Wheel

Menggabungkan Semua Elemen

Untuk menciptakan desain yang menarik, penting untuk menggabungkan semua elemen desain secara harmonis. Keseimbangan, proporsi, dan ritme adalah prinsip-prinsip desain yang perlu diperhatikan. Misalnya, Anda dapat menggabungkan garis-garis tegas dengan bentuk organik, atau warna-warna cerah dengan tekstur yang lembut. Bayangkan sebuah gaun cocktail dengan siluet yang simpel, namun dihiasi dengan detail bordir yang rumit dan warna-warna kontras. Desain ini berhasil menggabungkan berbagai elemen desain untuk menciptakan tampilan yang unik dan menarik.

Penulis: Dian Prianka, S.T., M.A., CDMP
LinkedIn: http://www.linkedin.com/in/dianprianka

The post Mengubah Elemen Desain Sederhana Menjadi Karya Fashion yang Menjual: Panduan untuk Desainer Pemula appeared first on Fakultas Industri Kreatif.

]]>
Fenomena Entropi dan Anti-Entropi dalam Fashion Masa Kini: Sebuah Metafora https://industrikreatif.ubaya.ac.id/2023/10/fenomena-entropi-dan-anti-2/ Tue, 24 Oct 2023 07:00:07 +0000 https://industrikreatif.ubaya.ac.id/?p=2205 Fenomena Entropi dan Anti-Entropi dalam Fashion Masa Kini: Sebuah Metafora Oleh: Christabel Annora P.P., S.T., M.Sc. Dosen Desain Fashion dan Produk Lifestyle https://www.christabelannora.space/ Apa itu Entropi? Entropi merupakan sebuah prinsip Fisika yang dicetuskan pertama kali oleh Carnot (1824) ketika Carnot mencoba untuk mengoptimasi sebuah mesin panas, dan kemudian dilengkapi oleh Clausius pada tahun 1850 (Saslow,2020). […]

The post Fenomena Entropi dan Anti-Entropi dalam Fashion Masa Kini: Sebuah Metafora appeared first on Fakultas Industri Kreatif.

]]>
Fenomena Entropi dan Anti-Entropi dalam Fashion Masa Kini: Sebuah Metafora

Oleh: Christabel Annora P.P., S.T., M.Sc. Dosen Desain Fashion dan Produk Lifestyle

https://www.christabelannora.space/

Apa itu Entropi?

Entropi merupakan sebuah prinsip Fisika yang dicetuskan pertama kali oleh Carnot (1824) ketika Carnot mencoba untuk mengoptimasi sebuah mesin panas, dan kemudian dilengkapi oleh Clausius pada tahun 1850 (Saslow,2020). Prinsip peningkatan entropi dalam Fisika ini mengacu pada hukum Termodinamika yang menyatakan bahwa semua proses yang alami dan seimbang akan selalu bergerak ke arah yang lebih kacau. Meskipun prinsip entropi ini adalah sebuah deskripsi dari sebuah proses fisik, secara tidak langsung prinsip ini juga dapat diasosiasikan pada manusia. Entropi dapat dipahami sebagai sebuah tendensi menuju kekacauan dan ketidakberaturan. Pada tulisan ini, entropi akan dikaitkan dengan fashion dan hubungannya dengan teknologi.

Prinsip fisika ini secara metaforis digunakan untuk menganalisis dan mengkritik praktik-praktik masyarakat dan industri dalam dunia fashion.Sehingga, meskipun kedua ranah (fisika dan fashion) tidak langsung terkait, konsep entropi digunakan sebagai lensa melalui mana dampak fast fashion diperiksa dan dipahami.

Teknologi dan fashion memiliki sebuah hubungan yang tak terpisahkan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat membuat industri fashion bertumbuh secara masif dan terus berinovasi, baik dalam jenis produk, material, baik dalam proses produksi. Sebelum era Revolusi Industri, sebelum abad 18, fashion memiliki laju yang cukup lambat (Mohajan, 2019). Hal ini disebabkan para produsen pakaian era itu membuat produknya di rumah mereka dan rumah produksi yang tidak besar. Proses pembuatan pakaian memakan waktu yang cukup lama karena bahan (kain) tidak diproduksi sebesar sekarang, juga proses potong dan jahit yang dilakukan secara manual. Karena itulah, pakaian pada masa itu tidak banyak diproduksi dan dapat digunakan dalam waktu yang lama. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan fashion pada masa kini. Era dressmaker sudah dianggap kuno, dan karena cepatnya perputaran fashion, fast fashion pun terbentuk. Fast fashion yang kian marak ini memiliki dampak – dampak negatifnya, baik dari sisi lingkungan ataupun sosial. Dari sisi lingkungan, dampak fast fashion dapat langsung terlihat pada polusi yang dihasilkan – bagaimana industri fashion mencemari sungai untuk pewarnaan sintetis kain, ataupun penggunaan kain-kain berbahan dasar polyester yang tidak dapat terurai. Dari aspek sosial, marak kasus pabrik-pabrik garmen yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur, juga bagaimana upah para pekerja yang tidak sesuai standar untuk memenuhi keuntungan perusahan. Dengan peristiwa – peristiwa ini, fashion di era digital yang serba cepat akan meningkatkan entropi yang akan membawa kepada kekacauan. Tulisan ini membahas bagaimana fashion di era digital membawa kehidupan manusia pada entropi dan sebagai anti – entropinya, inovasi – inovasi dalam bidang fashion juga kian bertambah.

Dampak Fashion Masa Kini pada Entropi Manusia dan Lingkungan

Fashion masa kini sering dikaitkan dengan fast fashion yang merupakan sebutan dari koleksi pakaian yang berkiblat pada trend fashion dari desainer ternama, dengan harga yang lebih murah. Dalam lanskap sosial, fast fashion diproduksi secara cepat dan menghasilkan banyak keuntungan dengan ‘memeras’ proses produksinya, yang dalam hal ini mencakup para pekerja garmen, waktu, bahkan sumber daya material. Namun, brand fast fashion tidak akan berhasil tanpa konsumen. Fast fashion juga melakukan banyak manipulasi lewat proses pemasaran yang persuasive sehingga calon konsumen membeli tanpa henti. Sehingga, akselerasi yang terjadi di sini tidak hanya pada proses produksinya, namun juga proses jual beli, dan proses pembuangan pakaian. Tidak mengherankan jika akhirnya masyarakat menjadi sangat konsumtif dalam hal membeli pakaian. Ketika merasa bosan dengan pakaian tertentu, mereka akan membuang pakaian tersebut dan membeli lagi yang baru.

Dalam konteks manusia, pabrik fashion menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda dengan mengeksploitasi manusia. Salah satu contohnya adalah peristiwa Rana Plaza, yang terjadi pada tahun 2013 dan menewaskan lebih dari 1000 orang. Bangunan Rana Plaza, yang merupakan bangunan tempat pabrik-pabrik garmen berada, ambruk dengan kondisi pekerja – pekerja masih berada di dalamnya. Hal yang memicu kemarahan public adalah para pekerja pabrik dipaksa untuk tetap bekerja di dalam gedung meskipun satu hari sebelumnya sudah ditemukan retakan di gedung tersebut. Peristiwa ini merupakan peningkatan entropi khususnya di bidang fashion dalam dampaknya pada manusia, karena dari peristiwa ini terbukti bahwa kapitalisme mengubur kemanusiaan dalam – dalam.

Dalam hubungannya dengan lingkungan, peningkatan entropi dapat tercermin dari kerusakan alam yang semakin buruk. Hal ini dapat dilihat dari data dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menyebut industri fashion sebagai industri kedua yang paling berpolusi, menghasilkan 8% dari emisi karbon dan 20% air limbah (Bailey, K., Basu, A., & Sharma, S. ,2022). Terkait material pakaian yang paling mendasar, yaitu kapas (cotton), dalam penanaman dan pengolahannya untuk menjadi tekstil membutuhkan air yang sangat banyak, dan konsumsinya mencapai 3% air tawar dunia dan 10% pestisida. Material pakaian lainnya yang berupa plastik (polyester) pun tak jauh berbeda dampak buruknya. Penggunaan kain berbahan dasar polyester menghasilkan microplastic yang mencemari air dan pada akhirnya akan memasuki makhluk hidup bersama dengan air, udara, makanan, dan minuman (Dalla Fontana, G., Mossotti, R., & Montarsolo, A., 2020). Kondisi ini akan menjadi ancaman makhluk hidup pula. Dalam konteks ini, entropi manusia dan lingkungan pun menjadi satu.

Menurut Yi-Fang Chang (2020), reduksi entropi, atau disebut juga pengurangan entropi atau anti-entropi dapat dilakukan dengan mentransfer sebuah sistem ke sistem yang lain. Namun, manusia tidak dapat sepenuhnya mengurangi entropi dan semua sistem yang berinteraksi, karena tidak ada cara untuk menghancurkan entropi secara lokal, entropi akan selalu meningkat dan terjadi. Demikian pula dalam dunia fashion, entropi yang dihasilkan oleh industri fashion dapat direduksi, meskipun tidak sepenuhnya.

Berbagai macam riset sudah dilakukan oleh para peneliti, aktivis lingkungan, dan bekerja sama dengan para experts di bidang fashion untuk memperlambat terjadinya entropi. Ada beberapa contoh, di antaranya adalah re-adaptasi dari slow fashion, penggunaan material yang lebih sustainable, ataupun cara-cara lain seperti mengadaptasi teknologi digital itu sendiri untuk menanggulangi dampak – dampak negatif dari industri fashion. Dalam artikel ini, akan dibahas dua hal yang merupakan usaha – usaha untuk memperlambat entropi dalam fashion sendiri, yakni adanya adaptasi digital fashion dan upcycling.

Fashion Virtual (Digital Fashion)

Salah satu bentuk inovasi dalam dunia fashion untuk mereduksi entropi lingkungan dan manusia sebagai dampak dari industri fast fashion adalah timbulnya digital fashion, yang biasa disebut dengan virtual fashion. Inovasi ini adalah bentuk digital dari sebuah produk fashion (pakaian, sepatu, dan produk fashion lainnya) yang dibuat menggunakan 3D modelling software (Choi, 2022). Pakaian virtual ini sudah diakui sangat mirip dengan pakaian sebenernya dan memfasilitasi ekspresi kreatif desainer (Wu et al., 2013).

Dalam mereduksi entropi lingkungan dan manusia, digital fashion berperan penting, terutama terkait bagian proses produksi dan jenis produk. Penulis meneliti sebuah brand sebagai studi kasus dalam sub permasalahan ini, yakni The Fabricant, sebuah brand fashion digital yang memimpin industri fashion menuju sektor fashion digital.

The Fabricant

Sebagai brand yang bergerak dalam digital fashion, The Fabricant menganggap bahwa pakaian virtual merupakan sebuah solusi dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kapitalisme dan sikap konsumtif para konsumen produk fashion. The Fabricant beranggapan bahwa setiap manusia dapat menjadi apapun yang diinginkan, tanpa harus merusak hal-hal di sekitarnya. The Fabricant membuat pakaian virtual dan mereka menjualnya di platform digital. Sistem penjualannya adalah menggunakan blockchain, sehingga pada masing-masing pakaian terdapat tanda kepemilikan. Pakaian dari The Fabricant dapat digunakan oleh avatar ataupun dipasangkan dalam foto ataupun video, sehingga, konsumen tidak akan mendapatkan produk fisik dari pakaian yang mereka beli, namun dapat menggunakannya secara virtual, mengunggahnya ke dalam akun sosial media, dan memiliki dokumentasi mereka menggunakan pakaian tersebut dalam rupa foto dan video.

Gambar 1. Iridescence – Koleksi The Fabricant

Gambar 1 merupakan salah satu pakaian yang berhasil terjual seharga 9500 USD dari The Fabricant. Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa desain dari The Fabricant cukup kompleks dan eksklusif. Dari hal ini dapat dilihat bahwa digital fashion memberikan peluang untuk desainer – desainer mewujudkan imajinasi – imajinasi desain yang mungkin tidak dapat diraih oleh pakaian fisik. Amber Jay Slooten, founder dari The Fabricant, mengemukakan dalam wawancaranya yang dimuat di thepowerhouse.group mengemukakan bahwa koleksi digital ini dapat disebut sebagai ‘thought couture’, karena apa yang dirancang merupakan hal – hal di luar fisik. Thought couture, menurut Slooten, adalah sebuah ide yang memberi peluang semua orang untuk berekspresi melalui fashion, dan ekspresi tersebut tidak harus berdampak buruk untuk lingkungan (Pinent,2021). Dalam upayanya untuk mengurangi jumlah garmen di dunia, The Fabricant memberikan paradigma user-generated fashion sehingga konsep keberlanjutan fashion dengan digital fashion menjadi sebuah konsep yang menarik juga untuk diadaptasi konsumen. Melalui digital fashion, konsumen dapat mengekspresikan diri mereka menurut representasi yang mereka inginkan, baik secara ideal self, ought self, ataupun actual self (Higgins, 1987).  Digital fashion di sini dapat dilihat sebagai potensi dari kemunculan baru (new emergence) jika inovasi ini dapat secara inklusif diadaptasi pada tingkat sosio – kultural.  Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bambang Sugiharto (2010) pada tulisannya yang berjudul Pergeseran Paradigma: Pada Sains, Filsafat, dan Agama Saat Ini, yaitu revolusi digital yang sekarang terjadi membuat manusia lebih hidup dan dapat berkomunikasi dengan sesamanya pada tingkat “virtual”, tidak terbatas pada ruang fisik saja.

Selain menjual produk digital, The Fabricant juga bekerja sama dengan brand fashion yang menjual produk fisik untuk meningkatkan efektifitas dengan sampel digital, yaitu Peak performance. Peak Performance adalah sebuah brand pakaian olahraga ski yang berpusat di Are, Swedia. Bersama dengan The Fabricant, Peak Performance menggantikan sampel (prototype) fisik dengan sampel digital guna mengurangi pemborosan yang tidak perlu, menghemat bahan mentah, dan memberikan kemudahan dalam pengambilan keputusan internal tim terkait desain dan bahan. Diperkirakan terjadi pengurangan sebanyak 96% emisi karbon hasil dari perubahan sampel fisik menjadi sampel digital ini.

Gambar 2. Pengurangan Emisi Peak Performance (Peak Performance Sustainability Report, 2019)

Gambar 2 merupakan gambar yang menunjukkan emisi karbon yang berkurang dari proses perubahan Physical Shirt menjadi Digital Shirt, didukung dengan gambar 2 (bawah) yang merupakan tangkapan layar dari website Peak Performance. Dalam tangkapan layar websitenya, Peak Performance menyatakan bahwa bumi tidak dapat mengimbangi konsumsi, pemborosan, polusi, konflik, dan ketidakadilan sosial, sehingga brand harus berkontribusi lewat aksi nyata untuk ikut menanggulangi hal-hal tersebut.

Dari pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa digital fashion mendukung reduksi entropi dengan cara memperlambat proses kekacauan. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Addiscot (1995), dalam tulisannya yang berjudul Entropy and Sustainability, bahwa produksi minimum entropi haruslah menjadi kriterita dari keberlanjutan atau sustainability. Meskipun Addiscot menyatakan ini dalam konteks agrikultur, namun hal ini dapat diaplikasikan dalam industri fashion pula.

Upcycling sebagai Praktik Slow Fashion

Upcycling merupakan sebuah proses di mana bahan bekas yang sudah digunakan (dapat berupa pakaian dan produk lainnya) diubah menjadi sesuatu yang lebih bernilai dan berkualitas (Sung, 2015; Aus et al., 2021). Sebagai praktik dari slow fashion, upcycling menggeser kuantitas menjadi kualitas, dan menyeimbangkan desain dan daya tahan pakai untuk jangka panjang. Konsep slow fashion di era masa kini pertama kali dicetuskan oleh Fletcher (2010), yang pada awalnya merupakan sebuah argument melawan standar dan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan praktik upcycling, sebuah produk yang sudah usang dapat diperbarui kembali, sehingga sampah pakaian dan kain akan berkurang (Parung, 2019).  Ide slow fashion dewasa ini tentunya merupakan sebuah kontras jika dibandingkan dengan fenomena fast-fashion yang berkembang beberapa decade terakhir.

Gambar 3. Contoh aplikasi upcycling dalam fashion (Upcycle Karya Viviany, Dosen FIK UBAYA)

Gambar 3 merupakan salah satu contoh aplikasi teknik upcycling dalam bidang fashion, di mana dua garmen bekas direkonstruksikan sedemikian rupa untuk menjadi pakaian yang baru dengan nilai lebih / added value. Melalui teknik ini, dua pakain yang sebelumnya sudah usang dah terlihat tidak dapat digunakan kembali, nilainya bertambah dengan sebuah proses detach dan attach.

Dengan maraknya penelitian terkait upcycling dan praktik slow fashion lainnya dewasa ini, visi baru untuk fashion sudah mulai terbuka. Hampir semua penelitian didasarkan pada kritik terhadap fenomena industri fashion yang sangat tidak sustainable, dan mencoba mengatasi ke-tidakberlanjutan tersebut dari berbagai sisi, yaitu sisi produksi, distribusi, bahkan proses daur ulang produk.

Hasil dari penelitian – penelitian ini sangat bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis, sehingga dapat mendukung proses reduksi entropi (anti entropi / anti kekacauan) pada lingkungan dan manusia. Namun, dari banyaknya penelitian – penelitian ini, maka tercerminlah sebuah masalah yang sebenarnya merupakan masalah mendasar, yaitu kita menerima dominasi fast-fashion dan hanya berusaha membatasinya dengan melakukan pergerakan revolusioner dalam bentuk cara – cara yang dapat diterima masyarakat. Untuk mengubah hal ini menjadi sebuah new emergence atau ‘kemunculan’ baru dan membentuk sebuah negentropi, diperlukan sebuah sistem slow fashion yang sifatnya merdeka, dan tidak menjadi bagian dari fashion saat ini (fast fashion).

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa digital fashion dan slow fashion yang sifatnya beretika dan berkelanjutan ini masih merupakan bagian dari fenomena fast fashion masa kini yang semakin lama merujuk kepada kompleksitasnya. Meskipun begitu, upaya – upaya untuk mereduksi entropi dengan inovasi – inovasi tentunya akan membuahkan hasil. Upaya – upaya ini akan menghasilkan kesadaran – kesadaran yang pada titik tertentu akan membangun sebuah sistem baru yang mematahkan paradigma – paradigma kapitalistik dalam fast fashion.

Pada akhirnya, kita sebagai manusia harus tetap waspada terhadap entropi yang terus meningkat, sehingga pada titik tertentu, kita dapat menjadi agent of change yang membawa fashion pada entropi negatif (negentropi) yang akan menghasilkan keteraturan. Dari tulisan ini, diharapkan muncul penelitian – penelitian yang akan mengubah fashion menjadi sebuah sistem baru yang dapat menjadi entropi negatif bumi dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.  Dengan menjadi sebuah kebaruan yang merdeka, dapat dihasilkan sebuah sistem yang autopoietic (Maturana,1980) yang dapat menciptakan, mereproduksi, dan memperbaiki komponen dan organisasinya sendiri.

Hal untuk dipikirkan :

Ini adalah sebuah jaket dengan motif print “upcycled work”. Apakah “upcycling” sudah mulai menjadi sebuah visual style yang diadaptasi untuk fast fashion, menghilangkan nilai – nilai praktik dan kepentingannya?

Referensi

Addiscott, T.M. (1995), Entropy and sustainability. European Journal of Soil Science, 46: 161-           168. https://doi.org/10.1111/j.1365-2389.1995.tb01823.x

Aus, R., Moora, H., Vihma, M., Unt, R., Kiisa, M., & Kapur, S. (2021). Designing for circular fashion: Integrating upcycling into conventional garment manufacturing processes. Fashion and Textiles, 8(1). https://doi.org/10.1186/s40691-021-00262-9

 

Bailey, K., Basu, A., & Sharma, S. (2022). The environmental impacts of fast fashion on water quality: A systematic review. Water, 14(7), 1073. https://doi.org/10.3390/w14071073

Chang, Y.F. (2020). Development of entropy change in philosophy of Science. Philosophy Study, 10(9). https://doi.org/10.17265/2159-5313/2020.09.001

 

Choi, K.-H. (2022). 3D Dynamic Fashion Design Development using digital technology and its potential in online platforms. Fashion and Textiles, 9(1). https://doi.org/10.1186/s40691-021-00286-1

 

Dalla Fontana, G., Mossotti, R., & Montarsolo, A. (2020). Assessment of microplastics release from polyester fabrics: The impact of different washing conditions. Environmental Pollution, 264, 113960. https://doi.org/10.1016/j.envpol.2020.113960

Higgins, E. T. (1987). Self-discrepancy: A theory relating self and affect. Psychological Review, 94(3), 319–340. doi:10.1037/0033-295X.94.3.319

Malye, T. K. (2020, January 10). Entropi Dan Manusia. Bahasan.ID. Retrieved December 17, 2022, from https://bahasan.id/entropi-dan-manusia/

Maturana, H. (1980). Autopoiesis: reproducción, herencia y evolución. In Z. M. (ed.) (Ed.), AAAS Selected Symposium 55 M. (ed.) Autopoiesis, dissipative structures and spontaneous social orders, AAAS Selected Symposium 55 (AAAS National Annual Meeting, Houston TX, 3–8 January 1979). (pp. 45-79). Boulder CO: Westview Press.

Mohajan, H.  (2019): The First Industrial Revolution: Creation of a New Global Human Era. Journal of Social Sciences and Humanities, Vol. 5, No. 4 (17 October 2019): pp. 377-387.

Parung, C. A. (2019). How do the Indonesian ecologically conscious Millennials Value Upcycled Clothing? IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 703(1), 012031. https://doi.org/10.1088/1757-899x/703/1/012031

 

Pinent, P. by L. S. (2021, April 10). The future of self-expression: What is digital fashion? by Amber Jae Slooten of the Fabricant. ThePowerHouse. Retrieved December 18, 2022, from https://thepowerhouse.group/digitalfashion-amber-jae-slooten-the-fabricant/

Saslow, W. M. (2020). A History of Thermodynamics: The Missing Manual. Entropy22(1), 77.         MDPI AG. Retrieved from http://dx.doi.org/10.3390/e22010077

Sugiharto, B. (2010). Pergeseran Paradigma: Pada Sains, Filsafat, dan Agama Saat Ini. Melintas, Vol. 26, No. 3. https://doi.org/10.26593/mel.v26i3.904.317-332

Sung, K. (2015). A review on upcycling: current body of literature, knowledge gaps and a way forward. World Academy of Science, Engineering and Technology, International Journal of Environmental and Ecological Engineering, 2.

Wu, S., Kang, Y., Ko, Y.-A., Kim, A., Kim, N., Kim, C., & Ko, H.-S. (2013). A study on 3D virtual clothing by utilizing Digital Fashion Show. Journal of Korea Multimedia Society, 16(4), 529–537. https://doi.org/10.9717/kmms.2013.16.4.529

 

 

The post Fenomena Entropi dan Anti-Entropi dalam Fashion Masa Kini: Sebuah Metafora appeared first on Fakultas Industri Kreatif.

]]>
Ergonomics and Product Design https://industrikreatif.ubaya.ac.id/2023/10/ergonomics-and-product-design/ Mon, 23 Oct 2023 09:04:55 +0000 https://industrikreatif.ubaya.ac.id/?p=2196 Ergonomics and Product Design oleh: Prof. Ir. Markus Hartono, S.T., M.Sc., Ph.D., CHFP., IPM., Asean Eng. (Dekan FIK UBAYA) Google Scholar Dosen Desain dan Manajemen Produk Ergonomics atau dikenal dengan Human Factors Engineering atau Ergonomi adalah disiplin ilmu tentang aturan kerja, yang menitikberatkan pada kemampuan dan keterbatasan manusia dalam berinteraksi dengan produk atau tugas atau […]

The post Ergonomics and Product Design appeared first on Fakultas Industri Kreatif.

]]>
Ergonomics and Product Design

oleh:

Prof. Ir. Markus Hartono, S.T., M.Sc., Ph.D., CHFP., IPM., Asean Eng. (Dekan FIK UBAYA)

Google Scholar

Dosen Desain dan Manajemen Produk

Ergonomics atau dikenal dengan Human Factors Engineering atau Ergonomi adalah disiplin ilmu tentang aturan kerja, yang menitikberatkan pada kemampuan dan keterbatasan manusia dalam berinteraksi dengan produk atau tugas atau sistem kerja secara umum. Manusia sebagai desainer atau user diposisikan sebagai pusat dari sistem kerja tersebut. Tujuan yang ingin dicapai adalah kondisi yang ENASE (efisien, nyaman, aman, sehat, dan efektif) yang berorientasi pada peningkatan produktivitas kerja.

Terkait dengan product design, ergonomics berfokus pada perancangan produk untuk memenuhi kebutuhan, perilaku, dan keterbatasan pengguna. Kemudahan penggunaan (ease of use) menjadi kriteria kritis dalam user-product interaction saat ini. Selain itu, desain produk dengan berlandaskan aspek ergonomi haruslah memperhitungkan ukuran dan proporsi dimensi tubuh pengguna, yang disebut dengan anthropometry. Untuk meningkatkan fleksibilitas dan kebergunaannya secara luas (usability), konsep adjustability bisa diimplementasikan. Diharapkan produk yang dirancang tersebut menjadi nyaman digunakan oleh mayoritas pengguna respect to ragam ukuran dan bentuk tubuh, terlebih lagi jika variasinya sangat besar.

Konsep ergonomics dan product design juga sama-sama berorientasi pada fitting the product to the user, yang berarti bagaimana produk itu yang menyesuaikan dan cocok dengan penggunanya, bukan yang sebaliknya. Hal ini akan berimbas pada cost dan comfort, semuanya perlu diharmonisasikan.

The post Ergonomics and Product Design appeared first on Fakultas Industri Kreatif.

]]>
The Role of the Interaction Designer https://industrikreatif.ubaya.ac.id/2023/10/the-role-of-the-interaction-designer/ Fri, 20 Oct 2023 02:47:31 +0000 https://industrikreatif.ubaya.ac.id/?p=2175 Memahami Peran Desainer Interaksi Understanding the Role of the Interaction Designer Penulis: Brian Kurniawan Jaya, S.Ds., M.A. – Pengajar Desain dan Manajemen Produk & Desain Interaksi FIK UBAYA  Info tentang pengajar FIK UBAYA klik disini Dari sosial media yang kita gunakan setiap hari, hingga software untuk mengerjakan tugas? Atau perangkat VR untuk bermain, sampai smart […]

The post The Role of the Interaction Designer appeared first on Fakultas Industri Kreatif.

]]>
Memahami Peran Desainer Interaksi

Understanding the Role of the Interaction Designer

Penulis: Brian Kurniawan Jaya, S.Ds., M.A. – Pengajar Desain dan Manajemen Produk & Desain Interaksi FIK UBAYA 

Info tentang pengajar FIK UBAYA klik disini

Dari sosial media yang kita gunakan setiap hari, hingga software untuk mengerjakan tugas? Atau perangkat VR untuk bermain, sampai smart home system untuk keamanan rumah? Yup! semua kita gunakan secara interaktif. Lalu siapa yang men-desain itu semua?

From social media that we use every day, to software for working, or VR devices for entertainment, to smart home systems for home security, we all use them interactively. Then who designed it all?

Hal pertama yang dilakukan sebagian besar orang ketika bangun di pagi hari adalah mengecek smartphone, untuk mematikan alarm, sekedar melihat jam, ataupun menelusuri notifikasi yang muncul dari kemarin malam. Meski tidak melihat smartphone sekalipun, sebagian orang lainnya mungkin mampir ke kamar mandi, berolahraga di mesin treadmill atau menikmati secangkir kopi. Dari aktivitas-aktivitas tersebut banyak produk yang sudah kita gunakan mulai dari mengoperasikan smartphone, memencet tombol flush, memilih menu olahraga pada layar mesin treadmill, hingga pengaturan mesin kopi. Tanpa kita sadari penggunaan produk interaktif ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Lalu siapakah yang men-desain produk interaktif tersebut? Untuk lebih memahami peran desainer interaksi, mari memahami dulu apa yang dimaksud dengan Desain interaksi atau Interaction Design.

Menurut website interaction-design.org, Desain Interaksi, atau dapat kita sebut dengan IxD, adalah proses merancang produk interaktif yang memungkinkan manusia berinteraksi dengan produk dalam kehidupan sehari-hari. Ini mencakup desain interface, ergonomi, komunikasi, dan ilmu komputer untuk menciptakan dialog yang efektif antara pengguna dan produk. Desain Interaksi adalah bagian penting dari User Experience Design dan mencakup berbagai aspek seperti estetika, motion, suara, dan ruang. Desain Interaksi berasal dari Human-Computer Interaction (HCI), yang fokus pada merancang interface komputer agar mudah digunakan oleh manusia. Perkembangan teknologi telah mengubah cara kita berinteraksi dengan komputer, dan sekarang kita memiliki produk interaktif yang melebihi batas layar tradisional.

Desain Interaksi mengintegrasikan lima dimensi penting yang membentuk model pemahaman yang luas. Dimensi pertama (1D) Words berfokus pada elemen kata dan simbol, termasuk teks dan ikon pada antarmuka. Dimensi kedua (2D) Visual Representations mencakup representasi visual, seperti grafis, gambar, dan tata letak. Dimensi ketiga (3D) Physical Objects or Space menyangkut objek fisik dan ruang, seperti perangkat keras dan lingkungan di mana pengguna berinteraksi. Dimensi keempat (4D) Time melibatkan aspek waktu, termasuk pergerakan dan suara yang memberikan umpan balik serta durasi interaksi pengguna dengan produk. Dimensi kelima (5D) Behavior adalah perilaku, yang mencakup cara pengguna berinteraksi dengan produk dan memberikan respon terhadapnya. Ketika kelima dimensi ini digabungkan, mereka membantu menentukan bagaimana produk dapat digunakan secara efektif oleh pengguna. Untuk memahami lebih lanjut tentang pentingnya kelima dimensi ini dalam Desain Interaksi, Anda dapat mengeksplorasi lebih lanjut dalam konsep 5 dimensi Desain Interaksi.

Nah pembahasan tadi adalah pandangan singkat tentang Desain Interaksi, disiplin yang melibatkan ergonomi, psikologi, informatika, teknik, ilmu komputer, dan ilmu sosial, yang sekaligus menjadi kunci dalam menciptakan pengalaman yang lebih baik bagi pengguna dengan produk interaktif. Jika kalian penasaran untuk mendalami desain interaksi, kalian bisa masuk ke jurusan yang ada di FIK yaitu Desain & Manajemen Produk atau Desain Komunikasi Visual. Info lebih lanjut dapat menghubungi kami di WA 0877-4488-2012

The post The Role of the Interaction Designer appeared first on Fakultas Industri Kreatif.

]]>